“hiks….” Aku mulai
menangis, lagi.
Sudut taman sekolah yang
merupakan tempat paling tidak disukai murid-murid disekolahku menjadi tempat
favoriteku sekarang. Duduk menyendiri
dengan suasana yang hening adalah hal yang selalu aku lakukan di sudut taman itu.
Tangisku makin menjadi. Aku menangis tanpa suara,
sangat hening. Airmataku tidak mau berhenti mengalir. Aku semakin susah bernapas. Semua hal itu tidak dapat aku hentikan, karena
hanya dengan menangis akhirnya aku bisa
lega. Untuk sementara.
Aku menarik napasku, mencoba
mengaturnya kembali. Aku mencoba untuk tenang agar tangisku dapat berhenti. Aku
menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Cukup efektif, untuk sementara.
“hahhhhhh…” aku menghela napas.
aku bersiap untuk menghapus airmata yang tersisa dipipiku.
“ini…” seseorang menyodorkanku
sekotak tissue. “gunakan ini!” ulangnya.
Aku mendongak, melihat kearah
sumber suara. “nde?”
“tissue akan membersihkan
airmatamu lebih bersih” ia duduk disebelahku.
Aku bingung, siapa namja ini?. Aku
hanya menatapnya dengan mata yang
terbuka lebar.
Ia tersenyum. “jangan bergerak.”
Ia menarik sehelai tissue dari kotaknya dan hendak mengusap pipiku.
“andwae….” Aku merebut sehelai
tissue itu dari tangannya. “gomawo!” aku tertunduk malu
“ne…” ia tersenyum padaku sebelum
perhatiannya terfokus pada gerombolan murid-murid yang sedang bercanda disisi
lain taman sekolah.
Ia tersenyum lagi padaku? dan itu
membuat aku bingung. Aku tidak mengenalnya. Aku juga tidak pernah melihatnya.
Apa ia bukan murid disekolahku? Tetapi jelas-jelas ia menggunakan seragam yang
sama denganku. Mungkin ia seniorku?
Tanpa aku sadari, aku menatapnya
terus hampir tanpa berkedip. Ia menoleh padaku. aku segera memalingkan wajah,
pura-pura tidak pernah memperhatikannya. Dan akhirnya tertunduk lagi.
“kamu sudah tenang sekarang?”
tanyanya
“emmmm…” jawabku singkat tanpa
berani menatapnya.
“apakah hobbymu menangis?” ia
terkekeh. “aku selalu melihatmu menangis disini. Hampir setiap hari”
Aku merasa malu. Aku ini
seolah-olah sangat cengeng. “ania…” belaku
“aku pernah mendengar suatu
pernyataan…..” ia menerawang ke langit. “katanya seorang yoeja yang menangis akan terlihat sangat
cantik seperti bunga lily yang bermekaran di saat gerimis turun”
Aku menatapnya tidak mengerti.
“nde?”
“aku sempat tidak percaya akan
pernyataan itu.” ia tersenyum sendiri dan masih menatap langit. “tetapi
sekarang aku percaya. Gomawo…” ia menatapku.
“oh….” Aku kembali tertunduk.
“kenapa berterima kasih padaku?”
“karena kamu membuktikan bahwa
pernyataan itu benar”
“mwo?” aku harus memastikan apa
yang aku dengar.
“tetapi sebenarnya aku masih
tidak setuju sepenuhnya dengan pernyataan itu. menurutku, bunga lily yang terus
terkena air hujan akan layu dan mati. Bunga lily lebih terlihat indah ketika
matahari menyinarinya. Warnanya yang begitu indah akan terlihat jelas.”
Aku memberanikan diri menatapnya.
Aku tidak mengerti maksud perkataanya.
“nde?” tatapan kami bertemu.
“hujan berarti tangisan, dan
matahari berarti senyuman.” Sekali lagi ia tersenyum lembut padaku. “kamu harus
mencoba tersenyum, jebal”
Aku memiringkan kepalaku ke kiri,
mencoba mencerna kata-katanya. “aku tidak mengerti” kataku polos.
Ia hanya tertawa menatapku yang
terlihat bingung. “kamu sangat polos!” ia kembali terfokus entah kemana.
Aku tertegun. Mencoba mencerna,
memahami semua yang ia katakan. Bunga lily? Hujan? Matahari? Tangis?
Senyuman?dan aku? Hampir 5 menit kami terdiam. Dan…… aku mulai mengerti.
“emmmm….. aku…” aku hendak memastikan.
Sayangnya terpotong.
“baiklah…” ia berdiri dari tempat
duduknya. “aku harus kembali ke kelas” ia menoleh padaku. “ingat…tersenyumlah!
Annyeong!” ia meninggalkanku.
Aku menghela napas. “annyeong!”
kataku lirih.
Yang terlihat sekarang hanya
punggungnya yang membelakangiku dan menjauh. Aku hanya bisa mengiringi
kepergiannya dengan tatapan kecewa. Namja yang tidak aku kenal. 5 langkah
menjauh dariku, 10 langkah….
“tunggu…” panggilku.
Ia menghentikan langkahnya dan
menoleh padaku. “nde?”
“emmmm….” Kataku ragu. “gomawo…joegmal
gomawo. Emmmm…. Ireumi mwoyeyo (siapa namamu)?”
Ia tersenyum lagi untuk kesekian
kalinya padaku. senyum yang ramah dan lembut. Menenangkan hatiku. “Lee Sung Min
imnida”
“emmmm…” aku tertunduk. “Jeo neun
choi….”
Ia memotong kalimatku. “arayoe…
tetapi aku lebih suka memanggilmu bunga lily”
“nde?” ia membuat aku
bingung lagi.
“annyeong… tersenyumlah!” ia
melambaikan tangannya dan pergi meninggalkanku.
“ne… sung min-ssi” kataku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar